Peristiwa yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, telah menyulut perdebatan sengit di masyarakat dan dunia pendidikan Indonesia. Insiden yang melibatkan Kepala Sekolah (Kepsek) Dini Fitria yang diduga menampar seorang siswa berinisial ILP karena ketahuan merokok dan berbohong, telah memicu gelombang aksi solidaritas siswa yang mogok sekolah, laporan kepolisian dari orang tua, hingga intervensi pemerintah daerah yang berujung mediasi damai. Kasus ini menjadi cerminan kompleksnya hubungan antara pendidik dan peserta didik di era di mana perlindungan anak dan perlindungan guru sama-sama menjadi sorotan.
Kejadian bermula ketika Kepsek memergoki siswa ILP merokok di lingkungan sekolah saat kegiatan "Jumat Bersih". Kepsek mengaku melakukan teguran keras, bahkan "memukul pelan" yang ia sebut sebagai reaksi spontan dan bentuk kekecewaan atas ketidakjujuran siswa, bukan hanya karena perilaku merokoknya. Reaksi atas tindakan ini bergulir cepat yang kemudian Orang tua siswa melaporkan Kepsek ke polisi atas dugaan tindak kekerasan. Berlanjut dengan Aksi Solidaritas Siswa sebanyak Ratusan siswa melakukan aksi mogok sekolah, menuntut agar Kepsek diberhentikan, menunjukkan tingkat solidaritas yang tinggi di kalangan pelajar. Kasus ini memicu perdebatan di media sosial. Sebagian mendukung tindakan Kepsek sebagai upaya penegakan disiplin, sementara yang lain mengecamnya sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Bahkan, sempat beredar isu adanya gerakan yang diduga akan melakukan blacklist terhadap lulusan sekolah tersebut oleh dunia kerja, meski isu ini perlu diverifikasi lebih lanjut. Sejumlah guru dan organisasi profesi guru menunjukkan dukungan kepada Kepsek, melihat kejadian ini sebagai risiko profesi pendidik dalam menegakkan aturan. Hingga Intervensi Pemerintah, Gubernur Banten sempat menonaktifkan Kepsek untuk menormalkan suasana, namun kemudian mengklarifikasi dan mengaktifkan kembali setelah dilakukan mediasi. Akhirnya, kedua belah pihak Kepsek dan siswa/orang tua bertemu dan sepakat berdamai, dengan rencana pencabutan laporan polisi.
Tinjauan Regulasi
Kasus ini menyinggung dua payung hukum utama dalam dunia pendidikan, yaitu perlindungan anak dan perlindungan profesi guru.
1. Perlindungan Anak: Prioritas Non-Kekerasan
Undang-Undang yang menjadi landasan utama adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 1 Ayat (1): Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 9 Ayat (1) dan Pasal 13 Ayat (1): Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Prinsip Utama: Prinsip perlindungan anak menjamin hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, serta dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Tindakan kekerasan fisik, sekecil apapun, dalam proses pendidikan adalah pelanggaran terhadap hak anak.
2. Perlindungan Guru: Antara Hak dan Batasan Disiplin
Perlindungan terhadap guru diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
UU Guru dan Dosen Pasal 39 Ayat (1): Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Perlindungan ini mencakup perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Permendikbud No. 10/2017: Memberikan perlindungan hukum bagi guru yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas, termasuk yang berasal dari peserta didik, orang tua/wali, atau pihak lain, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Batasan: Perlindungan hukum guru tidak berlaku jika tindakan yang dilakukan guru termasuk kategori kekerasan atau melanggar hak asasi anak. Artinya, upaya penegakan disiplin harus dilakukan dengan cara-cara edukatif yang tidak menimbulkan dampak fisik maupun psikis negatif.
Solusi Pencegahan dan Langkah Edukatif
Untuk mencegah terulangnya insiden serupa, perlu ada perbaikan sistemik yang menyeimbangkan antara penegakan disiplin, hak anak, dan peran guru.
1. Membangun Sekolah yang Ramah Anak dan Aman
Penerapan Disiplin Positif: Sekolah harus mengganti hukuman fisik atau verbal yang kasar dengan metode disiplin positif. Hukuman harus bersifat edukatif, seperti bimbingan konseling, tugas tambahan yang relevan, atau restorasi (misalnya, membersihkan area yang dikotori).
Peran Guru Bimbingan dan Konseling (BK): Mengoptimalkan peran guru BK sebagai garda terdepan dalam pembinaan perilaku siswa. Masalah merokok atau ketidakjujuran harus ditangani melalui pendekatan psikologis dan pembinaan karakter.
Zona Anti-Kekerasan: Menjamin lingkungan sekolah sebagai zona aman dari segala bentuk kekerasan, baik oleh guru, tenaga kependidikan, maupun sesama siswa, sesuai amanat UU Perlindungan Anak.
2. Penguatan Kompetensi Pendidik
Pelatihan Manajemen Emosi: Memberikan pelatihan rutin kepada guru dan kepala sekolah mengenai manajemen emosi, komunikasi asertif, dan teknik penanganan konflik tanpa kekerasan.
Peningkatan Pemahaman Regulasi: Melakukan sosialisasi berkala tentang batasan hak dan kewajiban pendidik, termasuk konsekuensi hukum dari tindakan kekerasan, sejalan dengan UU Perlindungan Anak dan Permendikbud Perlindungan Guru.
3. Kemitraan Sekolah dan Orang Tua
Komunikasi Terbuka: Menguatkan forum komunikasi yang efektif antara sekolah dan orang tua. Orang tua harus dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program disiplin serta solusi atas pelanggaran siswa.
Pakta Integritas: Membuat pakta integritas yang ditandatangani oleh siswa, orang tua, dan guru, yang secara jelas memuat aturan sekolah, sanksi edukatif, serta komitmen untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah dan tanpa kekerasan.
Kasus SMAN 1 Cimarga adalah pengingat penting bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan bahwa penegakan disiplin di sekolah harus berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan edukasi, sejalan dengan semangat perlindungan anak, namun tanpa mengorbankan marwah dan peran strategis profesi guru.
ditinjau dari berbagai sumber berita
