Minggu, 28 September 2025

Etika "OKE" vs. Kesantunan "BAIK", Menjaga Martabat Komunikasi Digital antara Siswa dan Guru

 

Illustrasi : guru sedang menjelaskkan etika, sopan santun dan tata krama di dunia Digital

Oleh : Asman. S.I.Pust

Perkembangan teknologi telah mengubah cara kita berinteraksi, termasuk dalam ranah pendidikan. Komunikasi antara siswa dan guru kini tidak lagi terbatas pada ruang kelas, melainkan merambah ke aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp. Namun, kemudahan ini membawa tantangan baru, terutama terkait etika berbahasa. Fenomena jawaban singkat seperti "Oke" atau "Gak" sebagai respons terhadap instruksi guru telah menjadi pemandangan umum, memunculkan pertanyaan kritis, di manakah letak tata krama dan rasa hormat dalam komunikasi digital ini?

Pergeseran Kesantunan dalam Ruang Digital

Penggunaan kata-kata yang terlalu santai seperti "Oke," "Sipp," atau "Enggak" mencerminkan adopsi gaya bahasa informal (bahasa slang) yang dominan di media sosial, lalu dibawa ke konteks yang seharusnya formal. Dalam ranah sosiolinguistik, interaksi ini dapat dianalisis melalui Prinsip Kesantunan (Politeness Principle) yang dicetuskan oleh Geoffrey Leech.

Menurut Leech, kesantunan berfungsi untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan memaksimalkan kenyamanan dalam berinteraksi. Salah satu maksim penting adalah Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim), yang menganjurkan penutur untuk merendahkan diri dan tidak memuji diri sendiri. Dalam konteks siswa-guru, Maksim ini berimplikasi pada pentingnya Maksim Penghargaan (Appreciation Maxim) yaitu menunjukkan penghargaan dan rasa hormat kepada lawan tutur, terutama yang memiliki status sosial lebih tinggi.

Ketika seorang siswa membalas instruksi tugas dengan "Oke," hal itu menunjukkan jarak sosial yang sangat dekat atau bahkan mengabaikan perbedaan status hierarkis antara siswa dan guru. Respons ini terkesan terlalu kasual, seolah-olah berbicara dengan teman sebaya. Sebaliknya, jawaban "Baik, Pak/Bu," atau "Siap, saya mengerti," secara implisit menerapkan Maksim Penghargaan, mengakui otoritas guru dan menerima instruksi dengan penuh rasa hormat.

"Dalam konteks pendidikan, kesantunan berbahasa adalah refleksi dari penghormatan terhadap guru. Komunikasi digital yang santun menjadi bagian integral dari etika digital (digital ethics), yang mengajarkan siswa untuk berperilaku secara bertanggung jawab dan bermartabat di dunia maya." (Lihat: Kajian Etika Komunikasi Siswa dalam Pembelajaran Daring, Jurnal Pendidikan)

Dari Bahasa Lisan ke Bahasa Tulis Cepat

Masalah ini diperparah oleh sifat alami komunikasi digital yang mengutamakan kecepatan dan efisiensi (ekonomi bahasa). Siswa cenderung menggunakan akronim, singkatan, dan kata-kata yang paling minim pengetikan, tanpa menyadari dampak pragmatis (makna dalam konteks) dari pilihan kata tersebut. 

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya kolektif, bukan hanya menyalahkan siswa. 

  1. Pendidikan Etika Digital Guru dan sekolah perlu secara eksplisit mengajarkan netiket (netiquette), terutama aturan komunikasi dengan pihak yang lebih tua atau berotoritas. Siswa harus memahami bahwa platform chat sekolah berbeda dengan chat pribadi.
  2. Pemodelan Guru: Guru juga perlu menjadi model komunikasi yang baik. Pesan balasan dari guru yang juga menggunakan bahasa santun akan memperkuat norma tersebut.
  3. Kesadaran Jarak Sosial: Memperkenalkan kembali konsep jarak sosial dalam sosiolinguistik bahwa semakin jauh jarak hierarki, semakin santun bahasa yang harus digunakan sangat krusial.

Pada akhirnya, kesantunan berbahasa dalam chat bukan sekadar urusan memilih kata, melainkan cerminan dari budaya hormat yang ingin kita tanamkan pada generasi muda. Mengganti "Oke" menjadi "Baik" adalah langkah kecil namun signifikan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur etika dalam interaksi digital.

Sumber dan Bacaan Lanjut

Leech, G. (1983). Principles of Pragmatics. London: Longman. (Rujukan untuk Maksim Kesantunan).

Kajian Etika Komunikasi Siswa. (Berbagai penelitian dalam jurnal pendidikan dan sosiolinguistik mengenai etika komunikasi siswa di media sosial).

Tingkat Kesantunan Berbahasa Gen Z di Era Digital. (Materi yang membahas pergeseran kesantunan di kalangan generasi muda dalam komunikasi online).

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.